Sabtu, 08 September 2012

Sejarah Singkat Pembagian Wilayah Pemerintahan di Borneo pada masa Pemerintahan Hindia Belanda


Pada zaman Pemerintahan Hindia Belanda Pulau Kalimantan dikenal dengan sebutan Pulau Borneo. Di akhir abad ke-19 dan permulaan abad ke-20 Kalimantan Selatan, yang juga meliputi daerah Kalimantan Tengah, saat itu dimasukkan bersama-sama dengan Kalimantan Timur dalam satu daerah administrasi, dan dikenal dengan sebutan Residentie Zuider en Ooster Afdeeling Van Borneo dengan Banjarmasin sebagai pusat pemerintahan daerah.
Dengan demikian Zuider en Ooster Afdeeling van Borneo adalah nama untuk menyebutkan daerah selatan dan timur Kalimantan, yaitu Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Tengah, yang dipimpin oleh seorang residen sampai tahun 1938. Dari tahun 1938-1942 sesuai perubahan statusnya sebagai Gubernemen Borneo, maka pimpinannya adalah Gubernur. Birokrasi pemerintahan daerah Kalimantan secara modem dasar-dasarnya serta strukturnya mulai diletakkan oleh kekuasaan Hindia Belandatatkala otoritas tradisional Kesultanan Banjar dilikuidasi dengan pengumuman Proklamasi penghapusan Kesultanan Banjarmasin pada tanggal 11 Januari 1860, oleh F.N. Nieuwenhuyzen. Beliau sendiri adalah Resident Soeracarta yang bertindak sebagai Governements Commissaris in de Z & O Afdeeling van Borneo. Pada mulanya yang mengendalikan pemerintahan adalah kelompok militer yang berdwifungsi (teknis militer dan teknis teritorial), yang kemudian setelah kondisinya aman dialihkan kepada pihak sipil.
Secara hierarkis pemerintahan Keriesidenan Selatan dan Timur Borneo langsung berada di bawah pemerintahan pusat yang berkedudukan di bawah Batavia/Bogor. Hubungan Banjarmasin dengan Batavia adalah sebagai pemerintahan daerah dengan pemerintahan pusat yang meliputi segi politik, militer, ekonomi, keuangan, pendidikan, kepolisian dan sebagainya. Pemerintah pusat di Batavia menjalankan politik sentralisasi dalam bidang pemerintahan atas daerah-daerah luar jawa yang dikuasainya, termasuk Kalimantan Selatan.
Perlu dikemukakan bahwa penguasaan daerah Kalimantan Selatan haruslah dilihat sebagai salah satu mata rantai politik penaklukan di Nusantara yang dalam sejarah kolonial disebut Afrondingseh Politiek atau Politik Pembulatan Wilayah atau pasifikasi terhadap daerah-daerah di luar Jawa, menuju pembentukan Pax Neerlandica yang dasar-dasarnya diletakkan pada abad ke-19. Proses ini mencapai puncaknya pada tahun 1910 dengan empire buildernya Christian Snouck Hurgronye (1857-1936), aktor intelektual politik Islam di Indonesia pada umumnya dan politik Aceh khususnya.
Dalam wilayah yang luas ini, pemerintah Hindia Belanda kemudian membaginya menjadi wilayah-wilayah administratif bawahan (pemerintah local administrative). Ketentuan hukum pembagian pemerintahan local administrative tersebut tertuang dalam Staatsblad (Lembaran Negara) Tahun 1898 Nomor 178 dengan pembagian sebagai berikut :

1.       Afdeeling Banjarmasin en Ommelanden (daerah sekitarnya)
2.       Afdeeling Martapura
3.       Afdeeling Kandangan
4.       Afdeeling Amuntai
5.       Afdeeling Doesoenlanden (Tanah-tanah Dusun)
6.       Afdeeling Dayaklanden (Tanah-tanah dayak)
7.       Afdeeling Sampit
8.       Afdeeling Pasir en de Tanah Boeraboe

Sumber : Prof. Alex Arnold Koroh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar