Pada zaman Pemerintahan Hindia
Belanda Pulau Kalimantan dikenal dengan sebutan Pulau Borneo. Di akhir abad
ke-19 dan permulaan abad ke-20 Kalimantan Selatan, yang juga meliputi daerah
Kalimantan Tengah, saat itu dimasukkan bersama-sama dengan Kalimantan Timur
dalam satu daerah administrasi, dan dikenal dengan sebutan Residentie Zuider en Ooster Afdeeling Van Borneo dengan Banjarmasin
sebagai pusat pemerintahan daerah.
Dengan demikian Zuider
en Ooster Afdeeling van Borneo adalah nama untuk menyebutkan daerah selatan dan
timur Kalimantan, yaitu Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, dan Kalimantan
Tengah, yang dipimpin oleh seorang residen sampai tahun 1938. Dari tahun
1938-1942 sesuai perubahan statusnya sebagai Gubernemen Borneo, maka
pimpinannya adalah Gubernur. Birokrasi pemerintahan daerah Kalimantan secara
modem dasar-dasarnya serta strukturnya mulai diletakkan oleh kekuasaan Hindia
Belandatatkala otoritas tradisional Kesultanan Banjar dilikuidasi dengan
pengumuman Proklamasi penghapusan Kesultanan Banjarmasin pada tanggal 11
Januari 1860, oleh F.N. Nieuwenhuyzen. Beliau sendiri adalah Resident
Soeracarta yang bertindak sebagai Governements Commissaris in de Z & O Afdeeling van
Borneo. Pada mulanya yang mengendalikan pemerintahan adalah kelompok militer yang berdwifungsi
(teknis militer dan teknis teritorial), yang kemudian setelah kondisinya aman
dialihkan kepada pihak sipil.
Secara hierarkis
pemerintahan Keriesidenan Selatan dan Timur Borneo langsung berada di bawah
pemerintahan pusat yang berkedudukan di bawah Batavia/Bogor. Hubungan
Banjarmasin dengan Batavia adalah sebagai pemerintahan daerah dengan
pemerintahan pusat yang meliputi segi politik, militer, ekonomi, keuangan,
pendidikan, kepolisian dan sebagainya. Pemerintah pusat di Batavia menjalankan
politik sentralisasi dalam bidang pemerintahan atas daerah-daerah luar jawa
yang dikuasainya, termasuk Kalimantan Selatan.
Perlu dikemukakan
bahwa penguasaan daerah Kalimantan Selatan haruslah dilihat sebagai salah satu
mata rantai politik penaklukan di Nusantara yang dalam sejarah kolonial disebut Afrondingseh
Politiek atau Politik Pembulatan Wilayah atau pasifikasi terhadap daerah-daerah
di luar Jawa, menuju pembentukan Pax Neerlandica yang dasar-dasarnya diletakkan
pada abad ke-19. Proses ini mencapai puncaknya pada tahun 1910 dengan empire
buildernya Christian Snouck Hurgronye (1857-1936), aktor intelektual politik Islam di
Indonesia pada umumnya dan politik Aceh khususnya.
Dalam wilayah yang
luas ini, pemerintah Hindia Belanda kemudian membaginya menjadi wilayah-wilayah
administratif
bawahan (pemerintah local administrative). Ketentuan hukum pembagian
pemerintahan local administrative tersebut tertuang dalam Staatsblad (Lembaran
Negara) Tahun 1898 Nomor 178 dengan pembagian sebagai berikut :
1.
Afdeeling
Banjarmasin en Ommelanden (daerah sekitarnya)
2.
Afdeeling
Martapura
3.
Afdeeling
Kandangan
4.
Afdeeling
Amuntai
5.
Afdeeling
Doesoenlanden (Tanah-tanah Dusun)
6.
Afdeeling
Dayaklanden (Tanah-tanah dayak)
7.
Afdeeling
Sampit
8.
Afdeeling
Pasir en de Tanah Boeraboe
Sumber : Prof. Alex Arnold Koroh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar